Berita Hangat

Jumat, 15 Januari 2010

Tuan Guru Sapat

Pada akhir abad 19 dan awal abad 20, dalam catatan historis terjadi migrasi antarpulau dan daerah di Nusantara.


Seperti fakta sejarah telah bermigrasinya komunitas Suku Banjar dari Pulau Kalimantan ke Pulau Sumatera, salah satunya ke wilayah Indragiri, Riau.

Menurut pengamatan sejarawan, faktor dominan terjadinya migrasi itu didasarkan pada keterdesakan kehidupan baik yang disebabkan oleh aspek politik kewilayahan akibat pembubaran Kesultanan Banjar oleh Kolonial Belanda. Dengan demikian, wilayah Banjar sebagai kawasan politik kesultanan dikooptasi oleh kolonial. Tapi, ada juga yang mengatakan bahwa faktor migrasi itu didasarkan pada aspek kesulitan ekonomi.

Daerah Indragiri terutama bagian hilir yang merupakan daerah Onderafdeeling, menjadi salah satu tujuan perantauan (madam). Daerah itu dekat dengan pantai timur yang berbatasan dengan lalu lintas Pelabuhan Singapura, dan kala itu menjadi sentral lalu lintas maritim bagian barat Nusantara.

Di samping faktor tersebut, tidak kalah penting adalah kesamaan struktur lingkungan dan kondisi alam yang bertekstur rawa dan bertanah gambut antara Kalimantan dan Indragiri Hilir. Bagi migran, daerah rantau seolah tidak ada bedanya dengan kampung (banua) asalnya di Kalimantan. Harus dicatat, bahwa komunitas Banjar juga ada yang merantau ke sebagian daerah Sumatera lainnya seperti Tungkal, Bengkalis, dan Deli, sebagaimana bisa disaksikan keberadaan mereka sampai saat ini.

Syekh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari atau lazim dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Tuan Guru Sapat --keturunan ulama besar Nusantara dari Banjar, pengarang kitab fiqih terkenal Sabilal Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari-- adalah salah seorang dari migran tersebut yang datang ke Indragiri. Tepatnya ke daerah Sapat, Kuala Indragiri, pada 1908. Walaupun, beliau terlebih dahulu beberapa tahun tinggal di Pulau Bangka dalam rangka melaksanakan tugas pengabdian mengajar dan berdakwah.

Namun, migrasi Tuan Guru Sapat itu terasa mempunyai diferensiasi yang lain dengan misi migran lainnya dalam tujuan merantau. Tuan Guru Sapat, dalam masa adaptasinya antara 1908-1909 merupakan seorang pedagang biasa (tukang mas). Tapi, belakangan ketokohan Tuan Guru Sapat dengan kedalaman ilmu agama dan kearifan budinya diketahui masyarakat. Faktor itu menjadikannya sebagai figur publik pada rentang waktu 1909-1939.

Di tengah masyarakat, Tuan Guru Sapat tampil secara kultural sebagai guru dan ulama dengan membuka khalaqah ilmu dan transformasi spritualitas serta memelopori berwirasawasta bagi muridnya dan masyarakat dalam hal bertani kelapa.

Di samping itu, karena permintaan sultan pada masa kepimpinan Sultan Mahmud, beliau secara struktural-politik diangkat sebagai mufti di Kerajaan/Kesultanan Melayu Indragiri yang berkedudukan di Rengat. Mufti, bisa disebut suatu posisi yang sangat terpandang dan penuh pengakuan terhadap tokoh yang dipilih untuk menjabatnya. Walaupun semula keberatan atas amanah untuk jabatan itu, namun akhirnya beliau menyanggupinya selama 27 tahun. Asal dengan syarat, beliau tidak diberi gaji/imbalan.

Artinya beliau bersedia mengemban amanah itu secara tulus ikhlas, beramal tanpa ambisi mengejar kedudukan dan usaha mendapat pamrih. Suatu sikap yang sangat pantas diteladani sekarang, di mana sebagian anggota masyarakat terdapat adanya fenomena penuh ambisi. Berlomba demi mengejar jabatan, kedudukan, dan kekuasaan sekaligus berupaya mengumpulkan kekayaan dari posisi itu. Walaupun, terkadang ditempuh dengan siasat menghalalkan segala cara.

Dari fakta kehadiran dan peran Tuan Guru Sapat di dalam masyarakat Indragiri, kita bisa melihat dan belajar bahwa orang rantau atau pendatang bukanlah merupakan suatu ‘ancaman’ bagi penduduk setempat. Antara satu suku dan suku lainnya adalah sama, dan yang dilihat adalah peran dan fungsinya di masyarakat. Bukan pada status suku tempatan atau suku pendatang.

Dalam pengertian luas, masyarakat Indragiri waktu itu sudah menerapkan suatu sikap pandang ‘terbuka’ dan melebur terhadap kehidupan multikulturalisme dan multietnisisme. Mereka tidak mengutamakan suku pribumi/tempatan, dibanding suku pendatang. Yang dilihat adalah sejauh mana orang itu punya kemampuan dan integritas, dalam memajukan daerah dan masyarakat secara umum.

Menilik dalam konteks figur Tuan Guru Sapat ketika masih hidup yang dijadikan sebagai teladan karena ilmu dan amalnya, justru beliau menjadi motor penggerak (agent of change) masyarakat yang multietnis dan multikultural tersebut dalam hal transformasi ilmu keagamaan dan transformasi sosial-budaya. Padahal, beliau adalah seorang etnis migran dari negeri seberang. Tapi secara sadar, masyarakat yang terdiri atas berbagai suku dan budaya itu takzim  dan menghormati beliau.

Bahkan setelah Tuan Guru Sapat wafat sekalipun, masyarakat masih bisa merasakan arti penting terhadap eksistensi beliau melalui jejak yang ditinggalkan. Selain meninggalkan beberapa karya tulis yang dipelajari hingga kini, beliau menciptakan suatu kesinambungan (continuity) kaderisasi dan masa generasi keulamaan (baca: murid beliau) yang kelak menjadi guru dan ulama sebagai pengganti Tuan Guru Sapat setelah wafat beliau pada 1939 (4 Syakban 1430 H) sampai 1980-an.

Ala kulli hal, Tuan Guru Sapat secara jasadiyah (fisik) memang sudah lama meninggalkan kita; sekitar 70 tahun. Namun, spirit perjuangan dan inspirasi yang diwariskan dari sosok dan figur ulama istiqamah dengan khittahnya dalam menjalankan fungsi keulamaan ini tetap masih hidup di tengah kita dan semua itu sangat penting untuk dapat direfleksikan agar kemudian diteladani.

Tugas yang telah beliau laksanakan secara total dengan mewakafkan jiwa raga dan amal usahanya dalam bidang keagamaan, pendidikan, dan sosial budaya secara ikhlas hanya untuk kemaslahatan masyarakat dan umat, harus terus diperjuangkan dan dilanjutkan oleh kita semua. Semoga!

Oleh: Nasrullah AS



Pendidik pada  STAI Auliaurrasyidin Tembilahan


Diedit dan dicopy- Paste kembali oleh : Abu Muhammad Khafi Wa Qudsiy As- Sapati 

Apakah Anda setuju dengan Blog ini?

Nang Umpatan di Sini