Berita Hangat

Sabtu, 28 Agustus 2010

Mengenal Tanda- Tanda LAILATUL QADAR


malam lailatul qadarSemua pasti telah mengetahui keutamaan malam Lailatul Qadar. Namun, kapan malam tersebut datang? Lalu adakah tanda-tanda dari malam tersebut? Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk mendapatkan malam yang keutamaannya lebih baik dari 1000 bulan.


Segala puji  bagi Allah atas berbagai macam nikmat yang Allah berikan. Shalawat dan salam atas suri tauladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarganya dan para pengikutnya.

Bersemangatlah di Sepuluh Hari Terakhir Bulan Ramadhan Para pembaca –yang semoga dimudahkan Allah untuk melakukan ketaatan-. Perlu diketahui bahwa sepertiga terakhir bulan Ramadhan adalah saat-saat yang penuh dengan kebaikan dan keutamaan serta pahala yang melimpah. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Oleh karena itu suri tauladan kita –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- dahulu bersungguh-sungguh untuk menghidupkan sepuluh hari terakhir tersebut dengan berbagai amalan melebihi waktu-waktu lainnya. Sebagaimana istri beliau –Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha- berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim)
Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’,pen), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Maka perhatikanlah apa yang dilakukan oleh suri tauladan kita! Lihatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah malah mengisi hari-hari terakir Ramadhan dengan berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan untuk persiapan lebaran (hari raya). Yang beliau lakukan adalah bersungguh-sungguh dalam melakukan ibadah seperti shalat, membaca Al Qur’an, dzikir, sedekah dan lain sebagainya. Renungkanlah hal ini!

Keutamaan Lailatul Qadar
Saudaraku, pada sepertiga terakhir dari bulan yang penuh berkah ini terdapat malam Lailatul Qadar, suatu malam yang dimuliakan oleh Allah melebihi malam-malam lainnya. Di antara kemuliaan malam tersebut adalah Allah mensifatinya dengan malam yang penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (4)
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi. dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44] : 3-4). Malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar sebagaimana ditafsirkan pada surat Al Qadar. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1)
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar [97] : 1)
Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat selanjutnya,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar [97] : 3-5)

Kapan Malam Lailatul Qadar Terjadi?
Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
Terjadinya lailatul qadar di tujuh malam terakhir bulan ramadhan itu lebih memungkinkan sebagaimana hadits dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ - يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ - فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى
Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir, namun jika ia ditimpa keletihan, maka janganlah ia dikalahkan pada tujuh malam yang tersisa. (HR. Muslim)
Dan yang memilih pendapat bahwa lailatul qadar adalah malam kedua puluh tujuh sebagaimana ditegaskan oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun. Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى
Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.”  (HR. Bukhari)

Catatan : Hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tentang terjadinya malam lailatul qadar di antaranya adalah agar terbedakan antara orang yang sungguh-sungguh untuk mencari malam tersebut dengan orang yang malas. Karena orang yang benar-benar ingin mendapatkan sesuatu tentu akan bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Hal ini juga sebagai rahmat Allah agar hamba memperbanyak amalan pada hari-hari tersebut dengan demikian mereka akan semakin bertambah dekat dengan-Nya dan akan memperoleh pahala yang amat banyak. Semoga Allah memudahkan kita memperoleh malam yang penuh keberkahan ini. Amin Ya Sami’ad Da’awat.

Do’a di Malam Lailatul Qadar
Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata,
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ « قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى »
Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?” Beliau menjawab,”Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (artinya ‘Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Ash Shohihah)

Tanda Malam Lailatul Qadar
[1] Udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء
Lailatul qadar adalah malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar lemah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi.  Haytsami mengatakan periwayatnya adalah tsiqoh /terpercaya)
[2] Malaikat menurunkan ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah, yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.
[3] Manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.
[4] Matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar. Dari Abi bin Ka’ab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,”Shubuh hari dari malam lailatul qadar matahari terbit tanpa sinar, seolah-olah mirip bejana hingga matahari itu naik.” (HR. Muslim) (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/149-150)

***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com

Disalin dari www.rumaysho.com dipublikasikan kembali oleh http://wanssapat.blogspot.com/ diedit dan dicopy- paste kembali Oleh : Abu Muhammad Khafi Wa Qudsiy As- Sapati

Pandai Bersyukur, Kunci Surga



Ketika seorang wanita ingin punya baju bagus, perhiasan indah, tampilan  menarik, sungguh sebuah kewajaran. Secara fithrah, wanita memang senantiasa bertipe demikian. Wanita dengan tabiatnya sebagai pendamping pria, memang selalu suka berhias, berdandan dan mempercantik diri. Kesukaannya terhadap benda-benda duniawi juga cenderung lebih besar ketimbang kaum pria. Maka sungguh tidak bijak bila “fithrah” itu dihambat sedemikian rupa, atau bahkan dihentikan secara sepihak. Islam adalah agama fithrah, yang sudah pasti akan memiliki tatanan ajaran yang selaras dengan kebutuhan fihtrah.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (Surga).” (Ali Imran : 14)
Antara Memanjakan Diri dan Mematikan Hati
Namun apa yang dikehendaki fithrah tidaklah sama dengan apa yang dimaui oleh hawa nafsu? Hal-hal yang berlebihan selalu saja berlawanan dengan fithrah itu sendiri. Sebagian istri tenggelam dalam khayalan. Mereka terlampau berlebih-lebihan dalam menuntut kesempurnaan. Dalam benaknya, pernikahan laksana surga Firdaus. Di dalamnya tak ada kepenatan, beban, ataupun kesusahan. Ia menginginkan pernikahan sesuai dengan gambaran dan fantasinya, tanpa bisa menoleransi adanya sedikit pun kesulitan.
Akhirnya, ketika sang istri berhadapan dengan kenyataan yang sarat tanggung jawab, saat ia dituntut untuk mengambil keputusan, melahirkan anak dan menghadapi berbagai macam kesulitan hidup, banyak di antara mereka yang tak sanggup menghadapinya. Tak jarang yang akhirnya berpikir bahwa ia telah keliru memilih pendamping hidup.
Betapa apa yang dialaminya, jauh di luar apa yang selama ini dibayangkannya. Di satu sisi, ia sadar bahwa ia adalah  istri yang harus melayani suami. Tapi di sisi lain,  nafsu dan syahwatnya berkubang ambisi dan fantasi yang entah kapan bisa terpuaskan. Kondisi itu pada sebagian wanita bisa memuncak menjadi depresi dan tekanan hidup yang hebat. Bahkan ia tak segan memohon cerai, hanya agar terlepas dari ikatan-ikatan yang terasa amat membelenggunya.
Salah satu faktor dominan yang menyebabkan terjadinya persepsi semacam itu, adalah kecenderungan sebagian masyarakat memetik inspirasi dari kisah-kisah roman picisan, novel-novel terjemahan, sinetron televisi atau berbagai tayangan film layar lebar.
Kisah, sinetron maupun film tersebut seringkali menggambarkan kehidupan pernikahan yang serba nyaman dan tak pernah dihinggapi masalah. Gaya hidup glamour sering digambarkan sebagai model-model kesuksesan yang patut diteladani.
Belum lagi tingkah polah selebritis yang saling berlomba mengambil simpati dengan tampilah wahnya.  Ketika istri mengendarai bahtera pernikahan, pengalaman yang ia hadapi jauh bertentangan dengan berbagai gambaran itu. Dirinya dikagetkan dengan kenyataan-kenyataan yang sebelumnya tak pernah terlintas di benaknya.
Seorang istri yang bijaksana hendaknya bersikap adil dalam memandang, tidak larut dalam mimpi atau membiarkan jiwanya menerawang ke lembah khayalan dan fantasi buta. Tak usah berlebihan dalam menuntut kesempurnaan. Kehidupan rumah tangga bukanlah sebuah gambaran sesaat. Bukan pula cerita khayalan yang direkayasa.
Ia sesungguhnya realitas yang berbaur penderitaan, angan-angan, kesenangan dan kesedihan, layaknya semua kenyataan hidup lainnya. Semua ini dapat diatasi jika bahtera kehidupan dijalani dengan memperbaiki pola beradaptasi dengannya. Seni menikmati realitas harus dipelajari setahap demi setahap. Belajar menahan derita dan kesusahan adalah seni agar hati tak mudah mati.
Bila Hasrat Belum Jadi Terwujud…
Nah, jika Anda seorang istri yang gagal mendapatkan sebagian fantasi Anda sebelum menikah, haruskan Anda mengatakan, ‘Yang namanya susah, tetap saja susah.’ Lalu Anda membiarkan diri Anda tenggelam dalam kesusahan itu? Tentu tidak demikian! Anda harus belajar untuk menahan diri, menguatkan jiwa dan rohani untuk menghadapinya.
Kekuatan memikul tanggung jawab, beban dan berbagai kesulitan merupakan faktor terbesar bagi terciptanya kebahagiaan pernikahan. Orang yang paling bahagia adalah orang yang paling mampu bersusah payah. Meski dalam realitasnya, belum tentu ia akan mengalami segala kepayahan itu. Artinya, saat Anda siap disuntik untuk berobat, Anda akan menjadi pasien yang berbahagia. Meski ternyata Anda tak harus mengalaminya.
Ukhti muslimah, saat saudari mampu menjadi istri yang tak banyak menuntut –bukan tak punya keinginan dan permintaan sama sekali–, saudari telah membuka pintu kebahagiaan untuk kehidupan rumah tangga kalian berdua.
Bagi suami, tak ada yang lebih indah dari ungkapan seorang istri, ‘Tak apa mas, namanya belum rezeki. Sabar, aku juga tak terlalu butuh kok. Yang ada ini saja sudah jauh dari mencukupi.’
Wah, sungguh itu adalah kata-kata mujarab, untuk mengobati segala kepenatan jiwa, menghilangkan pikiran yang suntuk, bahkan membangun motivasi untuk lebih giat lagi bekerja dan berusaha.
Beratkah untuk melakukannya? Tidak juga. Sebenarnya, yang dibutuhkan cuma “sesekali” sadar aja. Saat saudari berkeinginan kuat memiliki sesuatu, dan saudari melihat suami sedang berkemampuan, sampaikan saja terus terang.
Kalau suami punya beberapa kebutuhan yang sangat mendesak, tahan dulu keinginan itu. Saat sudah lapang, tak apa minta lagi. Bila dibelikan, ucapkanlah terima kasih. Meski ia adalah suami saudari dan memang sudah kewajibannya memberikan apa yang menjadi kebutuhan saudari, terima kasih itu perlu dan sangat berpengaruh menciptakan kebahagiaan di hari saudari. Jangan lupa tersenyum dan memperlihatkan wajah gembira. Tak cukup hanya senang sendiri dalam hati. Karena berbagi itu perlu, apalagi berbagi kebahagiaan.
Sepanjang permintaan itu masih dalam batas kewajaran dan suami saudari mampu, boleh saja saudari meminta. Asal jangan terus-terusan meminta. Biarpun suami mampu, dan permintaan itu sederhana, “sesekali” menahan diri itu perlu.
Kalau “sesekali” itu bisa saudari lakukan lebih banyak, akan lebih baik lagi. semakin banyak, semakin baik pula. Syukur-syukur, suami saudari memiliki pengertian mendalam, sehingga tanpa minta pun saudari sering dibelikan apa yang saudari suka. Itu akan lebih baik, karena nilai ketulusannya lebih banyak.
Dan yang terpenting, hal itu akan lebih mengurangi beban pikiran suami, yang bisa jadi tak saudari ketahui secara pasti. Terkadang, bisa jadi suami saudari menahan diri untuk tidak memberitahukan kebutuhannya, demi kebahagiaan saudari.
Menahan diri sesekali itu, jelas banyak hikmahnya, apalagi bila terjadi berkali-kali. Cara itupun memiliki seni tersendiri, yang kalau saudari kuasai penuh, niscaya akan menjadi sumber kepuasan tersendiri. Puasa mengajarkan kita untuk itu. Bayangkan, makan dan minum yang sudah jadi kebiasaan sehari-hari, belum lagi hubungan seks yang menjadi “primadona” dalam kehidupan duniawi, harus “dihentikan” dalam beberapa jam!
Itulah sebabnya, puasa berpahala besar, dan Allah menjanjikan banyak hal bagi yang melakukannya demi mencari keridhaan Allah,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُومُ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا بَاعَدَ اللَّهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا
“Setiap hamba yang berpuasa satu hari di jalan Allah, akan Allah pisahkan jarak antara dirinya dengan Neraka sejauh tujuh puluh musim gugur (70 Tahun).” [1]
Seorang istri, hendaklah tetap bersyukur meskipun musibah menimpanya, sebagai tanda terima kasihnya kepada Allah atas takdir yang ditentukan kepadanya. Apalagi bila kenyataannya, ia juga banyak menerima kesenangan, dan kesulitan itu justru dirasakan olehnya sesekali saja. Ia harus menjaga amarah, jangan banyak mengeluh dan memerhatikan adab-adab dalam menghadapi segala wujud musibah. [2]
Seorang istri hendaknya menyadari bahwa suami adalah penyebab lahirnya keturunan. Anak adalah nikmat yang sangat agung. Seandainya laki-laki tidak memiliki kelebihan kecuali hanya nikmat ini, maka cukuplah kelebihan itu untuk disebutkan.
Ar-Raafi’i menjelaskan, “Sekalipun istri sengsara karena suaminya, sungguh suami telah membahagiakannya karena ia menjadi penyebab lahirnya keturunan. Karenanya, kelebihan ini saja sudahlah cukup menjadi kelebihan dan kenikmatan.” [3]
Rasulullah shollallohu ‘alaih wa sallam bersabda, “Saya melihat  kebanyakan penghuni neraka adalah kaum wanita.” Para sahabat bertanya, “Mengapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka mengingkari keluarga dan kebaikan-kebaikan suami. Jika sekiranya engkau berbuat baik kepadanya, lalu ia melihat sedikit kekurangan darimu, maka ia berkata: ‘Saya tidak melihat suatu kebaikan darimu sama sekali’.” [4]
Jadilah wanita yang pandai bersyukur.  Jadilah Ahli Surga….


Catatan Kaki:
  1. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (III : 1044), oleh Muslim (II : 808), oleh Imam At-Tirmidzi (IV : 20), Abu Dawud  (III : 185), juga Ibnu Hibban dalam Shahihnya (XIII : 13) dari hadits Abu Hurairah.
  2. Lihat: Madarij As-Salikin, Ibnu Al-Qayyim, II/199 dan 243.
  3. Wahyu Al-Qalam, Ar-Rafi’i, I/292
  4. HR. Al-Bukhari No. 29 dan Muslim No. 907

Oleh Ustadz Abu Umar Basyir
    Disalin dari www.majalahsakinah.com dan dipublikasikan kembali oleh www.salafiyunpad.wordpress.com diedit dan dicopy- paste kembali Oleh : Abu Muhammad Khafi Wa Qudsiy As- Sapati

    KEUTAMAAN WUDHU


    Wudhu mungkin bukan sudah menjadi rutinitas para muslim yang senantiasa menunaikan shalat. Akan tetapi sejauh manakah kita mengetahui mengenai hukum dan keutamaan wudhu sebenarnya??
    Wudhu adalah membasuh bagian tertentu yang ditetapkan dari anggota badan dengan air dengan niat membersihkan hadast sebagai persiapan menghadap Allah Ta’ala (mendirikan shalat) [2].
    Dalil yang mewajibkan menunaikan wudhu sebelum shalat adalah :
    1.Dalam Surat Al-Maidah ayat 6, Allah Ta’ala berfirman : “ Wahai orang-orang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai ke siku. Kemudian sapulah kepala kalian dan basuhlah kaki kalian sampai pada kedua mata kaki.”
    2.Hadist Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
    “Allah tidak akan menerima shalat seseorang di antara kalian apabila kalian berhadast, sehingga dia berwudhu” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
    Keutamaan Wudhu :
    Berwudhu bagi seorang muslim sesungguhnya memilliki banyak keutamaan, sebgaiamana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam. Beberapa diantara keutamaan wudhu itu adalah :
    1.Bersuci merupakan sebagian dari iman
    Muslim meriwayatkan dari Abu Malik Al-Arasy radiallahuanhu berkata : Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda : “Bersuci adalah sebagian dari iman”
    (HR. Muslim) [1]
    2.Orang yang berwudhu akan mendapatkan wajah yang bercahaya di akhirat kelak, sehingga Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam akan meneganali mereka sebagai umatnya.
    Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Rahimahullah, ia berkata : “aku pernah mendengar kekasihku Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Kemilau cahaya seorang mukmin (kelak pada hari kiamat) sesuai dengan batas basuhan wudhunya.” [1]
    Dari Abu Hurairah radiallahuanhu, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda : “Sungguh umatku kelak akan datang pada hari kiamat dalam keadaan (muka dankedua tangannya) kemilau bercahaya karena bekas wudhu. Karenanya, barangsiapa dari kalian yang mampu memperbanyak kemilau cahayanya, hendaklah dia melakukannya (dengan memperlebar basuhan wudhunya)”
    (HR. Bukhari Muslim) [1]
    3.Menggugurkan dosa-dosa kecil serta meninggikan derajat.
    Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda : “Maukah kalian aku beritahukan tentang sesuatu yang dengannya Allah akanmenghapuskan dosa-dosa kalian dan meninggikan derajat kalian? Para sahabat menjawab : Mau, ya Rasulullah. Kemudian beliau pun berkata : “Yaitu dengan menyempurnakan wudhu’ dari hal-hal yang bersifat makruh, banyak melangkah menuju masjid dan menunggu waktu shalat setelah shalat (tahiyatul masjid). Yang demikian itu adalah ikatan (perjanjian).” (HR.Muslim) [2]
    Muslim meriwayatkan dari Utsman radiallahuanhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda : “Barangsiapa wudhu secara sempurna, maka dosa-dosanya akan gugur dari jasadnya hingga keluar juga dari bawah kukunya”[1]
    4.Menghapuskan kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh jasad.
    Dari Abdulla Ash-Shanaji radiallahuanhu, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda : “Apabila seorang hamba berwudhu, lalu berkumur, maka dikeluarkanlah (dihapuskan) kesalahan-kesalahan itu dari mulutnya. Apabila ia memasukkan air ke rongga hidung, maka keluarlah kesalahan-kesalahan itu dari hidungnya. Apabila ia membasuh wajahnya, maka keluarlah kesalahan-kesalahan yang pernah ia perbuat dengan wajahnya, sehingga kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi keluar dari bawah tempat tumbuhnya rambut dari kedua matanya. Apabila ia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah kesalahan-kesalahan itu dari kedua tangannya, sehingga kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi dari bawah (celah) kukunya. Apabila ia mengusap kepalanya, maka keluarlah kesalahan-kesalahan itu dari kepalanya, sehingga kesalahan-kesalahan itu keluar dari kedua telinganya. Apabila membasuh kedua kakinya, maka keluarlah kesalahan-kesalahan tersebut dari kedua kakinya, sehingga kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi dari bawah kuku-kuku kedua kakinya. Kemudian perjalanannya ke masjid dan shalatnya merupakan nilai ibadah tersendiri baginya” (HR. Imam Malik, An-Nasaai, Ibnu Majah dan Al-Hakim) [6]
    5.Merupakan amal yang mendorong dibukanya pintu syurga bagi yang mengamalkannya.
    Dari Umar radiallahuanhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda : “Tidaklah seseorang dari kalian berwudhu secara sempurna, lalu mengucapkan : Asy-hadu allaa ilaha illallooh wahduu laa syarika lah wa asy-hadu anna MuHammadan ‘abduhu wa rosuuluh (Aku bersaksi bahwa tiada ilah, kecuali Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Nya ) melainkan kelak akan dibukakan untuknya 8 pintu syurga yang kepadanya dipersilakan untuk masuk melalui pintu mana saja yang ia sukai” [7]
    Dari berbagai keutamaan yang telah diuraikan di atas perlu digarisbawahi bahwa keutamaan tersebut hanya dimiliki oleh wudhu yang telah sempurna. Kesempurnaan wudhu ini tentu saja dikembalikan kepada syarat ibadah secara mutlak yakni ikhlas karena Allah dan ittiba (mengikuti contoh dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam), sebagaimana sabda beliau dalam sebuah riwayat :
    Muslim meriwayatkan dari Utsman radiallahuanhu, ia berkata : “Aku pernah melihat Rasulullah berwudhu seperti wudhuku ini, lalu beliau bersabda : ‘Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini, niscaya dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni, sementara shalat sunnahnya dan perjalanan menuju masjid menjadi penyempurna bagi dihapuskannya dosa-dosanya” [1]
    Karena itu hendaknya seorang mukmin senantiasa menjaga kesempurnaan wudhunya.
    Wallahu’alam Bishowab.
    Referensi :
    [1] Ringkasan Riyadush Shalihin (An-Nawawi) oleh Syaikh Yusuf An-Nabhani, Penerbit ibs
    [2] Fiqih Wanita, oleh Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Penerbit Pustaka Al-Kautsar


    Dikirim febri dalam Fiqih Muslimah, Thaharah  




    Diedit dan dicopy- paste kembali oleh : Abu Muhammad Khafi Wa Qudsiy As- Sapati

    Makna Silaturrahim

    Dalil Syar'i Bahwa Silaturrahim Termasuk Diantara Pintu-Pintu Rizki

    Diantara pintu-pintu rizki adalah silaturrahim. Pembicaraan masalah ini -dengan memohon pertolongan Allah- akan saya bahas melalui empat point berikut.

    Pertama : Makna Silaturrahim
    Kedua : Dalil Syar'i Bahwa Silaturrahim Termasuk Diantara Pintu-Pintu Rizki
    Ketiga : Apa Saja Sarana Untuk Silaturrahim .?
    Keempat : Tata Cara Silaturrahim Dengan Para Ahli Maksiat.

    Pertama : Makna Silaturrahim

    Makna 'ar-rahim' adalah para kerabat dekat. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : "Ar-rahim secara umum adalah dimaksudkan untuk para kerabat dekat. Antar mereka terdapat garis nasab (keturunan), baik berhak mewarisi atau tidak, dan sebagai mahram atau tidak".

    Menurut pendapat lain, mereka adalah maharim (para kerabat dekat yang haram dinikahi) saja.

    Pendapat pertama lebih kuat, sebab menurut batasan yang kedua, anak-anak paman dan anak-anak bibi bukan kerabat dekat karena tidak termasuk yang haram dinikahi, padahal tidak demikian. [Fathul Bari, 10/414]

    Silaturrahim, sebagaimana dikatakan oleh Al-Mulla Ali Al-Qari adalah kinayah (ungkapan/sindiran) tentang berbuat baik kepada para kerabat dekat -baik menurut garis keturunan maupun perkawinan- berlemah lembut dan mengasihi mereka serta menjaga keadaan mereka. [Lihat, Murqatul Mafatih, 8/645]

    Kedua : Dalil Syar'i Bahwa Silaturrahim Termasuk Kunci Rizki

    Beberapa hadits dan atsar menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan silaturrahim termasuk di antara sebab kelapangan rizki. Diantara hadits-hadits dan atsar-atsar itu adalah.

    [1]. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

    "Artinya : Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya) [1] maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturrahim" [Shahihul Bukhari, Kitabul Adab, Bab Man Busitha Lahu fir Rizqi Bishilatir Rahim, no. 5985, 10/415]

    [2]. Dalil lain adalah hadits riwayat Imam Al-Bukhari dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

    "Artinya : Siapa yang suka untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan usianya (dipanjangkan umurnya), hendaklah ia menyambung silaturrahim". [Shahihul Bukhari, Kitabul Adab, Bab Man Busitha Lahu fir Rizqi Bishilatir Rahim, no. 5986, 10/415]

    Dalam dua hadits yang mulia diatas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa silaturrahim membuahkan dua hal, kelapangan rizki dan bertambahnya usia.

    Ini adalah tawaran terbuka yang disampaikan oleh mahluk Allah yang paling benar dan jujur, yang berbicara berdasarkan wahyu, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka barangsiapa menginginkan dua buah di atas hendaknya ia menaburkan benihnya, yaitu silaturrahim. Demikian, sehingga Imam Al-Bukhari memberi judul untuk kedua hadits itu dengan "Bab Orang Yang Dilapangkan Rizkinya dengan Silaturrahim" [Shahihul Bukhari, Kitabul Adab, Bab Man Busitha Lahu fir Rizqi Bishilatir Rahim, 10/415).Artinya, dengan sebab silaturrahim. ('Umdatul Qari, 22/91)]

    Imam Ibnu Hibban juga meriwayatkan hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu dalam Kitab Shahihnya dan beliau memberi judul dengan "Keterangan Tentang Baiknya Kehidupan dan Banyaknya Berkah dalam Rizki Bagi Orang Yang Menyambung Silaturrahim". [Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibni Hibban, Kitabul Birri wal Ihsan, Bab Shilaturrahim wa Qath'iha, 2/180]

    [3]. Dalil lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda.

    "Artinya : Belajarlah tentang nasab-nasab kalian sehingga kalian bisa menyambung silaturrahim. Karena sesungguhnya silaturrahim adalah (sebab adanya) kecintaan terhadap keluarga (kerabat dekat), (sebab) banyak - nya harta dan bertambahnya usia" [2]

    Dalam hadits yang mulia ini Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam menjelaskan bahwa silaturrahim itu membuahkan tiga hal, diantaranya adalah ia menjadi sebab banyaknya harta.

    [4]. Dalil lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abdullah bin Ahmad, Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda.

    "Artinya :Barangsiapa senang untuk dipanjangkan umurnya dan diluaskan rizkinya serta dihindarkan dari kematian yang buruk maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturrahim" [3]

    Dalam hadits yang mulia ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang jujur dan terpercaya, mejelaskan tiga manfaat yang terealisir bagi orang yang memiliki dua sifat ; bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturrahim. Dan salah satu dari tiga manfaat itu adalah keluasan rizki.

    [5]. Dalil lain adalah riwayat Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu ia berkata.

    "Artinya : Barangsiapa bertaqwa kepada Tuhannya dan menyambung silaturrahim, niscaya dipanjangkan umurnya, dibanyakkan rizkinya dan dicintai oleh keluarganya" [Al-Adabul Mufrad, Bab Man Washala Rahimahu Ahbbahu Allah, no. 59, hal. 37]

    [6]. Demikian besarnya pengaruh silaturrahim dalam berkembangnya harta dan benda dan menjauhkan kemiskinan, sampai-sampai ahli maksiat pun, disebabkan oleh silaturrahim, harta mereka bisa berkembang, semakin banyak jumlahnya dan mereka jauh dari kefakiran, karena karunia Allah Ta'ala.

    Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abu Bakrah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda.

    "Artinya : Sesungguhnya keta'atan yang paling disegerakan pahalanya adalah silaturrahim. Bahkan hingga suatu keluarga yang ahli maksiat pun, harta mereka bisa berkembang dan jumlah mereka bertambah banyak jika mereka saling bersilaturrahim. Dan tidaklah ada suatu keluarga yang saling bersilaturrahim kemudian mereka membutuhkan (kekurangan)". [Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibni Hibban, Kitabul Birr wal Ihsan, Bab Shilaturrahim wa Qath'iha, no. 440, 2/182-183. Syaikh Syu'aib Al-Arna'uth menshahihkan hadits ini ketika menyebutkan dalil-dalil pada catatan kaki Al-Ihsan. (Lihat, 2/183-184)].

    [Disalin dari buku Mafatiihur Rizq fi Dhau'il Kitab was Sunnah oleh Syiakh Dr Fadhl Ilahi, dengan edisi Indonesia Kunci-kunci Rizki Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah hal. 45-51 terbitan Darul Haq, Penerjemah Ainul Haris Arifin Lc]
    _______
    Footnote
    [1]. Catatan : "Para ahli hadits mengangkat persoalan seputar bertambahnya umur karena silaturrahim dan mereka memberikan jawabannya. Misalnya, dalam Fathul Bari disebutkan, Ibnu At-Tin berkata, 'Secara lahiriah, hadits ini beterntangan dengan firman Allah : "Artinya ; Maka apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya" (Al-A'raf : 34). Untuk mencari titik temu kedua dalil tersebut dapat ditempuh melalui dua jalan. Pertama, bahwasanya tambahan (umur) yang dimaksud adalah kinayah dari usia yang diberi berkah karena mendapat taufiq untuk menjalankan keta'atan, ia menyibukkan waktunya dengan apa yang bermanfa'at di akhirat, serta menjaga dari menyia-nyiakan waktunya untuk hal lain (yang tidak bermanfa'at). Kedua, tambahan itu secara hakikat atau sesungguhnya. Dan itu berkaitan dengan malaikat yang diberi tugas mengenai umur manusia. Adapun yang ditujukkan oleh ayat pertama di atas, maka hal itu berkaitan dengan ilmu Allah Ta'ala. Umpamanya dikatakan kepada malaikat, 'Sesungguhnya umur fulan dalah 100 tahun jika dia menyambung silaturrahim dan 60 tahun jika ia memutuskannya'. Dalam ilmu Allah telah diketahui bahwa fulan tersebut akan menyambung atau memutuskan silaturrahim. Dan apa yang ada di dalam ilmu Allah itu tidak akan maju atu mundur. Adapun yang ada dalam ilmu malaikat maka hal itulah yang mungkin bisa bertambah atau berkurang. Itulah yang diisyaratkan oleh firman Allah :"Artinya : Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisiNya lah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh)". (Ar-Ra'd : 39) . Jadi, yang dimaksudkan dengan menghapuskan dan menetapkan dalam ayat itu adalah apa yang ada dalam ilmu malaikat. Sedangkan apa yang ada di dalam Lauh Mahfuzh itu merupakan ilmu Allah, yang tidak akan ada penghapusan (perubahan) selama-lamanya. Itulah yang disebut dengan al-qadha' al-mubram (taqdir/ putusan yang pasti), sedang yang pertama (dalam ilmu malaikat) disebut al-qadha' al-mu'allaq (taqdir / putusan yang masih menggantung). [Fathul Bari, 10/416 secara ringkas. Lihat pula, Syarah Nawawi, 16/114, 'Umdatul Qari, 22/91]
    [2]. Al-Musnad, no. 8855, 17/42 ; Jami'ut Tirmidzi, Abwabul Birri wash Shihah, Bab Ma Ja'a fi Ta'limin Nasab, no. 2045, 6/96-97, dan lafazh ini miliknya ; Al-Mustadrak 'alash Shahihain, Kitabul Birr wash Shilah, 4/161. Imam Al-Hakim berkata. 'Hadits ini sanad-nya shahih, tetapi tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim (Op.cit, 4/161). Hal ini juga disepakati oleh Adz-Dzahabi (Lihat, Al-Talkhish, 4/161). Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menyatakan sanad-nya shahih. (Lihat, Hamisyul Musnad, 17/42). Dan ia dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani. [Lihat, Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/190].
    [3]. Al-Musnad, no. 1212, 2/290 ; Majma'uz Zawa'id wa Manba'ul Fawa'id, Kitabul Birri wash Shihah, Bab Shilaturrahim wa Qath'iha, 8/152-153. Tentang hadits ini, Al-Hafizh Al-Haitsami berkata : 'Hadits ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad, Al-Bazzar dan Ath-Thabrani di dalam Al-Ausath. Para perawi Al-Bazzar adalah perawi-perawi Shahih Muslim, selain Ashim bin Hamzah, dia adalah orang tsiqah (terpercaya). (Op.cit, 8/153). Disebutkan Ashim bin Hamzah, yang benar adalah Ashim bin Dhamrah. Penulisan Hamzah adalah salah cetak. (Lihat, Hamisyul Musnad, 2/290). Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata. 'Sanad hadits ini Shahih. [Op.cit. 2/290]

    Oleh : Syaikh Dr. Fadhl Ilahi



    Diedit dan dicopy- paste kembali oleh : Abu Muhammad Khafi Wa Qudsiy As- Sapati
    Dipublikasikan kembali oleh http://wanssapat.blogspot.com

    Jumat, 27 Agustus 2010

    Lailatul Qadar dan I’tikaf

    Segala puji bagi Allah atas berbagai macam nikmat yang Allah berikan. Shalawat dan salam atas suri tauladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarganya dan para pengikutnya.
    Bersemangatlah di Sepuluh Hari Terakhir Bulan Ramadhan
    Para pembaca -yang semoga dimudahkan Allah untuk melakukan ketaatan-. Perlu diketahui bahwa sepertiga terakhir bulan Ramadhan adalah saat-saat yang penuh dengan kebaikan dan keutamaan serta pahala yang melimpah. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Oleh karena itu suri tauladan kita -Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- dahulu bersungguh-sungguh untuk menghidupkan sepuluh hari terakhir tersebut dengan berbagai amalan melebihi waktu-waktu lainnya.
    Sebagaimana istri beliau -Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha- berkata,
    كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.
    “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim)
    Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,
    كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
    “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’, pen), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari & Muslim)
    Maka perhatikanlah apa yang dilakukan oleh suri tauladan kita! Lihatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah malah mengisi hari-hari terakir Ramadhan dengan berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan untuk persiapan lebaran (hari raya). Yang beliau lakukan adalah bersungguh-sungguh dalam melakukan ibadah seperti shalat, membaca Al Qur’an, dzikir, sedekah dan lain sebagainya. Renungkanlah hal ini!
    Keutamaan Lailatul Qadar
    Saudaraku, pada sepertiga terakhir dari bulan yang penuh berkah ini terdapat malam Lailatul Qadar, suatu malam yang dimuliakan oleh Allah melebihi malam-malam lainnya. Di antara kemuliaan malam tersebut adalah Allah mensifatinya dengan malam yang penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman,
    إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
    “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi. dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44]: 3-4)
    Malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar sebagaimana ditafsirkan pada surat Al Qadar. Allah Ta’ala berfirman,
    إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
    “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar [97]: 1)
    Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat selanjutnya,
    لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
    “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar [97] : 3-5)
    Catatan: Perhatikanlah bahwa malam keberkahan tersebut adalah lailatul qadar. Dan Al Qur’an turun pada bulan Ramadhan sebagaimana firman Allah Ta’ala,
    شَهْرُ رَمَضَانَ الذي أُنْزِلَ فِيهِ القرآن
    “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran.” (QS. Al Baqarah [2] : 185)
    Maka sungguh sangat keliru yang beranggapan bahwasanya Al Qur’an itu turun pada pertengahan bulan Sya’ban atau pada 17 Ramadhan lalu diperingati dengan hari NUZULUL QUR’AN. Padahal Al Qur’an itu turun pada lailatul qadar. Dan lailatul qadar -sebagaimana pada penjelasan selanjutnya- terjadi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Renungkanlah hal ini!
    Kapan Malam Lailatul Qadar Terjadi ?
    Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
    تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
    “Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
    Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
    تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
    “Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
    Terjadinya lailatul qadar di tujuh malam terakhir bulan ramadhan itu lebih memungkinkan sebagaimana hadits dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ – يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ – فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى
    “Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir, namun jika ia ditimpa keletihan, maka janganlah ia dikalahkan pada tujuh malam yang tersisa.” (HR. Muslim)
    Dan yang memilih pendapat bahwa lailatul qadar adalah malam kedua puluh tujuh sebagaimana ditegaskan oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun. Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
    الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى
    “Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari)
    Catatan: Hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tentang terjadinya malam lailatul qadar di antaranya adalah agar terbedakan antara orang yang sungguh-sungguh untuk mencari malam tersebut dengan orang yang malas. Karena orang yang benar-benar ingin mendapatkan sesuatu tentu akan bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Hal ini juga sebagai rahmat Allah agar hamba memperbanyak amalan pada hari-hari tersebut dengan demikian mereka akan semakin bertambah dekat dengan-Nya dan akan memperoleh pahala yang amat banyak. Semoga Allah memudahkan kita memperoleh malam yang penuh keberkahan ini. Amin Ya Sami’ad Da’awat.
    Do’a di Malam Lailatul Qadar
    Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita -Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata,
    قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ « قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى »
    “Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?” Beliau menjawab, “Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (artinya ‘Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Ash Shohihah)
    Tanda Malam Lailatul Qadar
    [1] Udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء
    “Lailatul qadar adalah malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar lemah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi. Haytsami mengatakan periwayatnya adalah tsiqoh/terpercaya)
    [2] Malaikat menurunkan ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah, yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.
    [3] Manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.
    [4] Matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar. Dari Abi bin Ka’ab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Shubuh hari dari malam lailatul qadar matahari terbit tanpa sinar, seolah-olah mirip bejana hingga matahari itu naik.” (HR. Muslim) (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/149-150)
    I’tikaf dan Pensyari’atannya
    Dalam sepuluh hari terakhir ini, kaum muslimin dianjurkan (disunnahkan) untuk melakukan i’tikaf. Sebagaimana Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada setiap Ramadhan selama 10 hari dan pada akhir hayat, beliau melakukan i’tikaf selama 20 hari. (HR. Bukhari)
    Lalu apa yang dimaksud dengan i’tikaf? Dalam kitab Lisanul Arab, i’tikaf bermakna merutinkan (menjaga) sesuatu. Sehingga orang yang mengharuskan dirinya untuk berdiam di masjid dan mengerjakan ibadah di dalamya disebut mu’takifun atau ‘akifun. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/150)
    Dan paling utama adalah beri’tikaf pada hari terakhir di bulan Ramadhan. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah ‘azza wa jalla mewafatkan beliau. (HR. Bukhari & Muslim)
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah beri’tikaf di 10 hari terakhir dari bulan Syawal sebagai qadha’ karena tidak beri’tikaf di bulan Ramadhan. (HR. Bukhari & Muslim)
    I’tikaf Harus di Masjid dan Boleh di Masjid Mana Saja
    I’tikaf disyari’atkan dilaksanakan di masjid berdasarkan firman Allah Ta’ala,
    وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
    “(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al Baqarah [2]: 187)
    Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali.
    Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”.
    Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, “Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid”, hadits ini masih dipersilisihkan apakah statusnya marfu’ atau mauquf. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/151)
    Wanita Juga Boleh Beri’tikaf
    Dibolehkan bagi wanita untuk melakukan i’tikaf sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri tercinta beliau untuk beri’tikaf. (HR. Bukhari & Muslim)
    Namun wanita boleh beri’tikaf di sini harus memenuhi 2 syarat: [1] Diizinkan oleh suami dan [2] Tidak menimbulkan fitnah (masalah bagi laki-laki). (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/151-152)
    Waktu Minimal Lamanya I’tikaf
    I’tikaf tidak disyaratkan dengan puasa. Karena Umar pernah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, aku dulu pernah bernazar di masa jahiliyah untuk beri’tikaf semalam di Masjidil Haram?” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Tunaikan nadzarmu.” Kemudian Umar beri’tikaf semalam. (HR. Bukhari dan Muslim)
    Dan jika beri’tikaf pada malam hari, tentu tidak puasa. Jadi puasa bukanlah syarat untuk i’tikaf. Maka dari hadits ini boleh bagi seseorang beri’tikaf hanya semalam, wallahu a’lam.
    Yang Membatalkan I’tikaf
    Beberapa hal yang membatalkan i’tikaf adalah: [1] Keluar dari masjid tanpa alasan syar’i atau tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak (misalnya untuk mencari makan, mandi junub, yang hanya bisa dilakukan di luar masjid), [2] Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah: 187 di atas. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/155-156)
    Perbanyaklah dan sibukkanlah diri dengan melakukan ketaatan tatkala beri’tikaf seperti berdo’a, dzikir, dan membaca Al Qur’an. Semoga Allah memudahkan kita untuk mengisi hari-hari kita di bulan Ramadhan dengan amalan sholih yang ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
    Sumber Rujukan:
    1. Shohih Fiqh Sunnah II
    2. Majalis Syahri Ramadhan
    3. Adwa’ul Bayan
    ***
    Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
    Dimuroja’ah oleh: Ustadz Abu Sa’ad, M.A.
    Artikel www.muslim.or.id


    Diedit dan dicopy- Paste kembali oleh : Abu Muhammad Khafi Wa Qudsiy As- Sapati

    Bagaimana Kita Merayakan Nuzulul Quran?

    Saudaraku! Setiap tahun, dan tepatnya di bulan suci Ramadhan ini, banyak dari umat Islam di sekitar anda merayakan dan memperingati suatu kejadian bersejarah yang telah merubah arah sejarah umat manusia. Dan mungkin juga anda termasuk yang turut serta merayakan dan memperingati kejadian itu. Tahukah anda sejarah apakah yang saya maksudkan?
    Kejadian sejarah itu adalah Nuzul Qur’an; diturunkannya Al Qur’an secara utuh dari Lauhul Mahfud di langit ketujuh, ke Baitul Izzah di langit dunia.
    شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ. البقرة 185
    “Bulan Ramadhan, bulan yang di padanya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (Qs. Al Baqarah: 185)
    Peringatan terhadap turunnya Al Qur’an diwujudkan oleh masyarakat dalam berbagai acara, ada yang dengan mengadakan pengajian umum. Dari mereka ada yang merayakannya dengan pertunjukan pentas seni, semisal qasidah, anasyid dan lainnya. Dan tidak jarang pula yang memperingatinya dengan mengadakan pesta makan-makan.
    Pernahkan anda bertanya: bagaimanakah cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sahabatnya dan juga ulama’ terdahulu setelah mereka memperingati kejadian ini?
    Anda merasa ingin tahu apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
    Simaklah penuturan sahabat Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu tentang apa yang beliau lakukan.
    كَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِى كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ ، فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ . رواه البخاري
    “Dahulu Malaikat Jibril senantiasa menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada setiap malam Ramadhan, dan selanjutnya ia membaca Al Qur’an bersamanya.” (Riwayat Al Bukhari)
    Demikianlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermudarasah, membaca Al Qur’an bersama Malaikat Jibril alaihissalam di luar shalat. Dan ternyata itu belum cukup bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau masih merasa perlu untuk membaca Al Qur’an dalam shalatnya. Anda ingin tahu, seberapa banyak dan seberapa lama beliau membaca Al Qur’an dalam shalatnya?
    Simaklah penguturan sahabat Huzaifah radhiallahu ‘anhu tentang pengalaman beliau shalat tarawih bersama Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam bilik yang terbuat dari pelepah kurma. Beliau memulai shalatnya dengan membaca takbir, selanjutnya beliau membaca doa:
    الله أكبر ذُو الجَبَرُوت وَالْمَلَكُوتِ ، وَذُو الكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
    Selanjutnya beliau mulai membaca surat Al Baqarah, sayapun mengira bahwa beliau akan berhenti pada ayat ke-100, ternyata beliau terus membaca. Sayapun kembali mengira: beliau akan berhenti pada ayat ke-200, ternyata beliau terus membaca hingga akhir Al Baqarah, dan terus menyambungnya dengan surat Ali Imran hingga akhir. Kemudian beliau menyambungnya lagi dengan surat An Nisa’ hingga akhir surat. Setiap kali beliau melewati ayat yang mengandung hal-hal yang menakutkan, beliau berhenti sejenak untuk berdoa memohon perlindungan. …. Sejak usai dari shalat Isya’ pada awal malam hingga akhir malam, di saat Bilal memberi tahu beliau bahwa waktu shalat subuh telah tiba beliau hanya shalat empat rakaat.” (Riwayat Ahmad, dan Al Hakim)
    Demikianlah cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingati turunnya Al Qur’an pada bulan ramadhan, membaca penuh dengan penghayatan akan maknanya. Tidak hanya berhenti pada mudarasah, beliau juga banyak membaca Al Qur’an pada shalat beliau, sampai-sampai pada satu raka’at saja, beliau membaca surat Al Baqarah, Ali Imran dan An Nisa’, atau sebanyak 5 juz lebih.
    Inilah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan, dan demikianlah cara beliau memperingati turunnya Al Qur’an. Tidak ada pesta makan-makan, apalagi pentas seni, nyanyi-nyanyi, sandiwara atau tari menari.
    Bandingkan apa yang beliau lakukan dengan yang anda lakukan. Sudahkah anda mengetahui betapa besar perbedaannya?
    Anda juga ingin tahu apa yang dilakukan oleh para ulama’ terdahulu pada bulan Ramadhan?
    Imam As Syafi’i pada setiap bulan ramadhan menghatamkan bacaan Al Qur’an sebanyak enam puluh (60) kali.
    Anda merasa sebagai pengikut Imam As Syafi’i? Inilah teladan beliau, tidak ada pentas seni, pesta makan, akan tetapi seluruh waktu beliau diisi dengan membaca dan mentadaburi Al Qur’an.
    Buktikanlah saudaraku bahwa anda adalah benar-benar penganut mazhab Syafi’i yang sebenarnya.
    Al Aswab An Nakha’i setiap dua malam menghatamkan Al Qur’an.
    Qatadah As Sadusi, memiliki kebiasaan setiap tujuh hari menghatamkan Al Qur’an sekali. Akan tetapi bila bulan Ramadhan telah tiba, beliau menghatamkannya setiap tiga malam sekali. Dan bila telah masuk sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, beliau senantiasa menghatamkannya setiap malam sekali.
    Demikianlah teladan ulama’ terdahulu dalam memperingati sejarah turunnya Al Qur’an. Tidak ada pesta ria, makan-makan, apa lagi na’uzubillah pentas seni, tari-menari, nyanyi-menyanyi.
    Orang-orang seperti merekalah yang dimaksudkan oleh firman Allah Ta’ala:
    اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاء وَمَن يُضْلِلْ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ .  الزمر23
    “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya.” (Qs. Az Zumar: 23)
    Dan oleh firman Allah Ta’ala:
    إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ {2} الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ {3} أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ. الأنفال 2-4
    “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rejeki yang Kami berikan kepada mereka, Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rejeki (nikmat) yang mulia.” (Qs. Al Anfaal: 2-4)
    Adapun kita, maka hanya kerahmatan Allah-lah yang kita nantikan. Betapa sering kita membaca, mendengar ayat-ayat Al Qur’an, akan tetapi semua itu seakan tidak meninggalkan bekas sedikitpun. Hati terasa kaku, dan keras, sekeras bebatuan. Iman tak kunjung bertambah, bahkan senantiasa terkikis oleh kemaksiatan. Dan kehidupan kita begitu jauh dari dzikir kepada Allah.
    Saudaraku! Akankan kita terus menerus mengabadikan keadaan kita yang demikian ini? Mungkinkah kita akan senantiasa puas dengan sikap mendustai diri sendiri? Kita mengaku mencintai dan beriman kepada Al Qur’an, dan selanjutnya kecintaan dan keimanan itu diwujudkan dalam bentuk tarian, nyayian, pesta makan-makan?
    Kapankah kita dapat membuktikan kecintaan dan keimanan kepada Al Qur’an dalam bentuk tadarus, mengkaji kandungan, dan mengamalkan nilai-nilainya?
    Tidakkah saatnya telah tiba bagi kita untuk merubah peringatan Al Qur’an dari pentas seni menjadi bacaan dan penerapan kandungannya dalam kehidupan nyata?
    ***
    Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
    Artikel www.pengusahamuslim.com




    Diedit dan dicopy- Paste kembali oleh : Abu Muhammad Khafi Wa Qudsiy As- Sapati 

    Al-Quran turun pada malam Lailatul Qadr bukan Malam ‘Nuzulul Quran’ 17 Ramadhan


    Quantcast

    Nuzulul Quran adalah Lailatul Qadar
    Ketika memasuki malam yang ke 17 di bulan Ramadhan sebagian kaum muslimin dan masjid-masjid mulai diadakan peringatan turunnya al-Quran pertama kali yang disebut malam peringatan Nuzulul Quran. Hal ini juga ‘terkesan’ dikuatkan dengan catatan kaki dalam “al-Quran dan Terjemahnya” surat adh-Dhukhan ayat 3.

    إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ

    Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[1369] dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.
    [1369] malam yang diberkahi ialah malam Al Quran pertama kali diturunkan. di Indonesia umumnya dianggap jatuh pada tanggal 17 Ramadhan.
    Keyakinan ini bertentangan dengan firman Allah subhanahu wa ta’alaa dalam surat al-Qadr ayat pertama:

    إِ نَّآ أَنْزَلْنَهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ


    “Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan[1593].”
    [1593] Malam kemuliaan dikenal dalam bahasa Indonesia dengan malam Lailatul Qadr yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan, kebesaran, Karena pada malam itu permulaan Turunnya Al Quran.
    Ayat diatas dengan jelas bahwa al-Quran diturunkan pada malam kemulian (Lailatul Qadar) dan juga Terlihat jelas bahwa catatan kaki untuk ayat di atas dalam “al-Quran dan Terjemahnya” juga menjelaskan bahwa malam permulaan turunnya al-Quran adalah pada malam tersebut. Sekarang yang menjadi pertanyaan, kapan terjadinya malam Lailatul Qadar, malam dimana al-Quran itu turun ? apakah benar pada 17 Ramadhan seperti yang selama ini oleh sebagian kaum muslimin Indonesia mempertingatinya ?
    Nabi shallahu’alaihi wa sallam pernah mengabarkan kepada kita tentang kapan akan datangnya malam Lailatul Qadar. Beliau pernah bersabda:
    “Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan” (Hadits Riwayat Bukhari 4/225 dan Muslim 1169)
    Beliau shallahu’alaihi wa sallam juga bersabda:
    “Berusahalah untuk mencarinya pada sepuluh hari terakhir, apabila kalian lemah atau kurang fit, maka jangan sampai engkau lengah pada tujuh hari terakhir” (Riwayat Bukhori dan Muslim)
    Dengan demikian telah jelas bahwa lailatul qadar terjadi pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan yaitu pada malam-malam ganjilnya 21, 23, 25, 27 atau 29. Maka gugurlah keyakinan sebagian kaum muslimin yang menyatakan bahwa turunya al-Quran pertama kali pada tanggal 17 Ramadhan. Oleh karena itu hendaknya kaum muslimin meninggalkan acara-acara semacam ini untuk memperingati turunnya al-Quran karena acara-acara ini muncul dari pendapat yang hanya sekedar anggapan umumnya kaum muslimin di Indonesia seperti yang tertulis dalam catatan kaki ”al-Quran dan Terjemahnya” dan tidak ada sama sekali dalil baik dari al-Quran dan al-Hadist yang menguatkan bahwa al-Quran diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan.
    Jika ada yang berargumen, “Tanggal 17 Ramadhan yang dimaksud adalah turunnya al-Quran ayat pertama ke dunia kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yaitu surat al-‘Alaq  ayat 1-5, sedangkan Lailatul qadar pada surat al-Qadar adalah turunnya al-Quran seluruhnya dari lauhul mahfudz ke Baitul Izzah di langit dunia !!?”.
    Maka jawabnya: Benar, bahwa turunnya al-Quran yaitu pada Lailatul qadar seperti yang tertuang dalam surat al-Qadar adalah turunnya al-Quran dari Lauhul Mahfudz ke Baitul Izzah di langit dunia, dan setelah itu al-Quran diturunkan secara bertahap selama 23 tahun. Seperti perkataan Ibnu Abbas radliyallahu’anhu dan yang lainnya ketika menafsirkan QS. Ad-Dukhon ayat 3:
    “Allah menurunkan al-Quran sekaligus daru Lauh Mahfudz ke baitul izzah (rumah kemuliaan) di langit dunia kemudian Allah menurunkannya secara berangsur-angsur sesuai dengan berbagai peristiwa selama 23 tahun kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu Katsir 8/441)
    Tetapi apakah ini menjadikan bahwa benar nya pendapat bahwa turunnya ayat pertama (QS. Al-‘Alaq: 1-5) kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam adalah 17 Ramadhan ?? Silahkan disampaikan dalil berupa ayat al-Qur’an maupun hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam jika memang demikian !!. Wallahua’lam
    Yang bisa dipetik dari pembahasan di atas
    1. Al-Quran diturunkan pada malam lailatul qadar bukan pada malam yang dikenal dengan malam ‘Nuzulul Quran’ yang bertepatan pada tanggal 17 Ramadhan
    2. Peringatan Nuzulul Quran 17 Ramadhan dengan dzikir tertentu dan bentuk pengajian khusus adalah bentuk peringatan yang tidak pernah ada landasannya dari al-Quran dan Hadist Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam, sehingga termasuk dalam perkara bid’ah.
    3. Lailatul qadar terjadi pada sepuluh malam terakhir yang ganjil dibulan Ramadhan.
    4. Peringatan lailatul qadar pada malam 27 Ramadhan (atau malam ganjil lainnya) dengan suatu pengajian khusus juga merupakan bid’ah karena Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam tidak pernah memperingatinya melainkan beliau shallahu’alahi wa sallam menghidupkan malam tersebut dengan qiyamul lail dan memperbanyak doa.
    5. Himbauan kepada para penanggung jawab “al-Quran dan Terjemahnya” agar meluruskan catatan kaki atau takwil-takwil dari ayat suci al-Quran yang hanya merupakan anggapan-anggapan yang tidak berdalil atau bahkan tafsiran/takwil yang bathil.
    Referensi
    • Ustadz Aunur Rofiq. Nuzulul Quran pada bulan Romadhon. Majalah al-Furqon Edisi 84, th ke-8 1429/ 2008
    • Abu Musa al-Atsari. Lailatul Qadar Malam Kemulian. Majalah adz-Dzakiroh Edisi 43, Edisi Khusus Ramadhan-Syawal, Vol 8, No.1 1429 H
    • Al-Quran dan Terjemahnya

    Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Ulama Sapat.

    Jalur keturunan yang menyentuh Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, ulama dunia Melayu yang sangat terkenal, ialah bahawa ibunya bernama Shafura binti Mufti Haji Muhammad Arsyad bin Mufti Haji Muhammad As'ad. Ibu Mufti Haji Muhammad As'ad bernama Syarifah binti Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, iaitu daripada perkahwinan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dengan Tuan Bajut. Dari jalur yang lain pula bahawa ibu Muhammad Afif bernama Sari binti Khalifah Haji Zainuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, iaitu daripada perkahwinan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dengan Tuan Guat.

    Berdasarkan catatannya sendiri yang penulis peroleh daripada keturunan beliau di Sapat dan Tembilahan, Indragiri Hilir (1982) bahawa Haji Abdurrahman Shiddiq lahir bulan Rabiulakhir, malam Khamis, sebelum Subuh, 1284 Hijrah/Ogos 1867 Masihi. Beliau memadamnya dan diganti dengan 1288 Hijrah/Jun/Julai 1871 Masihi. Penulis tidak sependapat dengan beberapa orang penulis yang menyebut bahawa Haji Abdurrahman Shiddiq lahir pada tahun 1857 Masihi. Mengenainya barangkali satu kekeliruan menyesuaikan tahun 1284 Hijrah atau 1288 Hijrah ke tahun Masihi saja. Bahawa 1284 Hijrah bukan bersamaan dengan tahun 1857 Masihi tetapi yang betul ialah tahun 1867 Masihi. Catatan tambahan yang dilakukan oleh anaknya bahawa beliau wafat pada hari Isnin, jam 5.40, 4 Syaaban 1358 Hijrah/18 September 1939 Masihi, dalam usia 70 tahun.

    PENDIDIKAN
    Pendidikan asasnya diperoleh dari lingkungan keluarga ulama Banjar yang ada hubungan dengan beliau. Sama ada kedua-dua orang tuanya, mahu pun Abdurrahman Shiddiq sendiri berhasrat untuk memperoleh ilmu yang banyak di Tanah Suci Mekah, namun beliau menempuh jalan yang berliku-liku. Abdurrahman Shiddiq banyak memperoleh ilmu di alam terbuka, bumi dipijak, langit dijunjung di beberapa tempat yang dirantaunya. Mulai Banjar berlayar ke Jawa, ke Sumatera, sambil berlayar, di rantau orang mengajar dan berusaha untuk memperoleh wang untuk sampai ke Tanah Suci Mekah. Perjuangannya adalah suci untuk memperoleh ilmu memartabatkan Islam, semangatnya adalah teguh kukuh tidak akan terabai dan tergugahkan. Sempat belajar dengan beberapa orang ulama di Padang, sambil berdagang emas dan perak di Padang. Beliau juga merantau ke daerah Tapanuli. Pernah mengajar kitab Sabilul Muhtadin, karangan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, datuk neneknya di Barus dan Natal di daerah Tapanuli. Berdasarkan catatan Abdurrahman Shiddiq bahawa dalam musim haji tahun 1306 Hijrah yang bererti bersamaan dengan Julai 1889 Masihi barulah cita-cita Abdurrahman Shiddiq sampai ke Mekah, dan tinggal di sana hingga tahun 1312 Hijrah/1894 Masihi.

    Oleh sebab Haji Abdurrahman Shiddiq sampai di Mekah pada tahun tersebut di atas dinyatakan oleh beliau sendiri, maka penulis tidak sependapat dengan kenyataan Imran Effendy Hs dalam buku Pemikiran Akhlak Syekh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari, halaman 16, 18 dan 63 yang menyebut bahawa Haji Abdurrahman Shiddiq berangkat ke Mekah pada 1882/3 Masihi. Catatan tulisan tangan Haji Abdurrahman Shiddiq penulis miliki sejak tahun 1982 di Sapat daripada salah seorang keturunan beliau. Dalam catatan itu jelas bahawa sejak dilahirkan, catatannya berada di Padang pada 10 Zulhijjah 1305 Hijrah/18 Ogos 1888 Masihi, bahawa beliau bernama Abdurrahman Shiddiq. Oleh sebab catatannya ditulis jauh sebelum beliau berada di Mekah, maka penulis juga tidak sependapat dengan buku di atas (halaman 18) yang menyebut bahawa gelar `Shiddiq' diberikan oleh gurunya, al-Syata (maksudnya Sayid Abu Bakri asy-Syatha) di Mekah.

    Sewaktu belajar di Mekah, beliau bersahabat dengan beberapa orang, di antara mereka ialah Tuan Husein Kedah al-Banjari, keturunan Banjar yang dilahirkan di Kedah ini (lahir 1280 Hijrah/1863 Masihi)usianya lebih tua beberapa tahun daripada Haji Abdurrahman (lahir 1288 Hijrah/1871 Masihi). Sahabatnya yang lain ialah Haji Abdullah Fahim (lahir 1286 Hijrah/1869 Masihi), Tok Kenali (lahir 1287 Hijrah/1871 Masihi) dan ramai lagi. Mengenai guru-guru yang mengajar di Masjid al-Haram pada zaman itu telah banyak disebut pada siri-siri yang lalu, oleh itu tidak perlu dibicarakan lagi.

    AKTIVITI
    Sudah cukup jelas dan tidak perlu diragukan bahawa Haji Abdurrahman Shiddiq pulang dari Mekah ialah tahun 1312 Hijrah/1894 Masihi. Oleh itu pendapat Imran Effendy Hs dalam bukunya (halaman 20) yang menyebut Haji Abdurrahman Shiddiq pulang dari Mekah pada tahun 1890/1 dan pendapat Syafei Abdullah dalam bukunya Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syeikh H. Abdurrahman Shiddiq, Mufti Indragiri, menyebut tahun 1897 Masihi penulis tidak sependapat dan perlu penelitian yang lebih kemas lagi.

    Pulang dari Mekah terus ke Martapura, kemudian pindah ke Bangka dilanjutkan pengembaraan di seluruh Semenanjung menziarahi teman-temannya, di antaranya Tok Kenali. Beberapa sultan, di antaranya sultan Johor meminta beliau menjadi mufti , semuanya beliau tolak. Akhirnya Syeikh Haji Abdurrahman Shiddiq membuka perkampungan sendiri yang kemudian diberi nama Parit Hidayat di keluarhan Sapat. Kec kuala Indragiri Di sanalah beliau membina umat membuka pengajian sistem pondok. Dalam masa kejayaannya membuka perkampungan untuk perkebunan kelapa dan pengajian itulah Syeikh Haji Abdurrahman Shiddiq dilantik sebagai Mufti Kerajaan Inderagiri.

    PENULISAN
    Karya-karya Mufti Haji Abdurrahman Shiddiq al-Banjari yang telah ditemui penulis senaraikan sebagai berikut:

    1. Asrarus Shalah, diselesaikan pada bulan Rejab 1320 Hijrah. Kandungannya membicarakan mengenai sembahyang. Cetakan yang pertama Mathba' Haji Muhammad Sa'id bin Haji Arsyad, Kampung Silong, Jalan Arab Street, Kedai Surat No, 82 Singapura, akhir Zulhijjah 1327 Hijrah. Cetakan selanjutnya oleh Mathba'ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 1348 Hijrah/1929 Masihi (cetakan ketiga).

    2. Fat-hul `Alim, diselesaikan pada 10 Syaaban 1324 Hijrah. Kandungannya membicarakan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah secara lengkap. Dicetak oleh Mathba'ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 28 Syaaban 1347 Hijrah/8 Januari 1929 Masihi.

    3. Risalatut Tazkirah li Nafsi wa lil Qashirin Mitsli, diselesaikan pada 20 Syaaban 1324 Hijrah. Kandungannya merupakan tazkirah dan nasihat yang dipetik daripada Majmu' karangan Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Cetakan pertama, Tempat Cap Haji Muhammad Amin, Singapura, 1324 H.

    4. Risalah Amal Ma'rifat, diselesaikan di Sapat, Inderagiri, 8 Rabiulawal 1332 Hijrah. Kandungannya membicarakan akidah menurut pandangan tasawuf. Cetakan yang kedua, 30 Muharam 1344 Hijrah oleh Mathba'ah Al-Ahmadiah, 50 Minto Road, Singapura.

    5. Syair Ibarat dan Khabar Kiamat, diselesaikan 25 Zulhijjah 1332 Hijrah. Kandungannya menceritakan peristiwa Hari Kiamat ditulis dalam bentuk syair. Dicetak oleh Mathba'ah Al-Ahmadiah, 50 Minto Road, Singapura, 9 Syaaban 1344 Hijrah.

    6. Risalah Kecil Pelajaran Kanak-kanak Pada Agama Islam, diselesaikan 1 Safar 1334 Hijrah. Kandungannya merupakan pelajaran fardu ain untuk kanak-kanak. Cetakan yang ketiga oleh Mathba'ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 1348 Hijrah/1929 Masihi.

    7. Aqaidul Iman, diselesaikan di Sapat, Inderagiri, 16 Rabiulawal 1338 Hijrah. Kandungannya membicarakan tentang akidah. Cetakan baru oleh Toko Buku Hasanu, Jalan Hasanuddin Banjarmasin atas izin Mahmud Shiddiq, Pagatan, Kota Baru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan, 1405 Masihi. Diterbitkan daripada salinan tulisan tangan oleh Hasan Bashri Hamdani.

    8. Syajaratul Arsyadiyah, diselesaikan 12 Syawal 1350 Hijrah. Kandungannya membicarakan asal-usul Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari dan keturunan-keturunannya. Cetakan pertama oleh Mathba'ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura.

    9. Risalah Takmilah Qaulil Mukhtashar, diselesaikan 10 Safar 1351 Hijrah. Kandungannya menceritakan tanda-tanda Hari Kiamat dan mengenai kedatangan Imam Mahdi. Dicetak oleh Mathba'ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, dicetak kombinasi dengan Syajaratul Arsyadiyah (103 halaman) oleh pengarang yang sama, dan Risalah Qaulil Mukhtashar fi `Alamatil Mahdil Muntazhar (55 halaman) karya Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari.

    10. Mau'izhah li Nafsi wa li Amtsali minal Ikhwan, diselesaikan 5 Rejab 1355 Hijrah. Kandungannya merupakan kumpulan pengajaran akhlak. Cetakan yang pertama oleh Mathba'ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 1355 Hijrah.

    11. Beberapa Khuthbah Pakai Makna Karangan Jaddi as-Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari, tanpa dinyatakan tarikh selesai penulisan. Kandungannya merupakan kumpulan khutbah yang pernah diucapkan oleh Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Dicetak oleh Mathba'ah Al-Ahmadiah, 101 Jalan Sultan, Singapura, tanpa dinyatakan tahun cetakan.

    12. Majmu'ul Ayat wal Ahadits fi Fadhailil `Ilmi wal `Ulama' wal Muta'allimin wal Mustami'in, tanpa dinyatakan tarikh selesai penulisan. Kandungannya merupakan kumpulan hadis serta terjemahannya dalam bahasa Melayu. Dicetak oleh Mathba'ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 1346 Hijrah/1927 Masihi.

    13. Catatan, tanpa tarikh, ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu. Kandungannya merupakan beberapa catatan Syeikh Abdurrahman Shiddiq mulai lahir malam Khamis, sebelum Subuh 1288 Hijrah/ Jun/Julai 1871 Masihi. Wafat hari Isnin, jam 5.40, pada 4 Syaaban 1358 Hijrah/18 September 1939 Masihi, dalam usia 70 tahun. Tahun 1306 Hijrah beliau ke Mekah. Tinggal di sana hingga tahun 1312 Hijrah. Selain itu terdapat catatan kelahiran dan wafat anak-anaknya dan lain-lain.



    Diedit dan dicopy-m paste kembali oleh : Abu Muhammad Khafi Wa Qudsiy As- Sapati

    Tuntunan Zakat Mal

    MediaMuslim.Info - Zakat merupakan kewajiban syar’i dan salah satu dari rukun Islam yang sangat penting setelah syahadatain dan shalat. Dalil dari Al Qur’an, As Sunnah maupun ijma’ kaum muslimin telah nyata menunjukkan bahwa zakat merupakan perkara wajib yang jika seseorang mengingkarinya bisa terjerumus ke dalam jurang kekufuran (murtad). Dia harus bertobat jika ingin kembali diakui lagi sebagai seorang muslim. Jika ia enggan bertobat maka boleh untuk diperangi.
    Mereka yang bakhil atau membayar namun tidak sesuai kewajibannya maka ia telah berbuat zhalim dan akan berhadapan dengan ancaman Alloh yang sangat keras. Firman Alloh Subhaanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Alloh berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat” (QS: Ali ‘Imron: 180)
    Rasululloh Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Barang siapa yang diberi oleh Alloh harta kemudian ia tidak membayar zakatnya maka akan dijelmakan harta itu pada hari kiamat dalam bentuk ular yang kedua kelopak matanya menonjol. Ular itu melilitnya kemudian menggigit dengan dua rahangnya sambil berkata: “Aku hartamu aku simpananmu” (HR: Al-Bukhari)
    Beberapa Faedah Zakat
    A. Faedah diniyah (segi agama)
    1. Dengan berzakat berarti telah menjalankan salah satu dari rukun Islam yang menghantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
    2. Merupakan sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabbnya, akan menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
    3. Pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Alloh Subhaanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Alloh memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (QS: Al Baqarah: 276)
      Dalam sebuah hadits yang muttafaq ‘alaih Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam juga menjelaskan bahwa shadaqah dari harta yang baik akan ditumbuhkan kembangkan oleh Alloh Subhaanahu wa Ta’ala berlipat ganda.
    4. Zakat merupakan sarana penghapus dosa, seperti yang pernah disabdakan Rasululloh Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam.
    B. Faedah Khuluqiyah (Segi Akhlak)
    1. Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat.
    2. Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya.
    3. Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia kan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya.
    4. Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak.
    C. Faedah Ijtimaiyyah (Segi Sosial Kemasyarakatan)
    1. Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia.
    2. Memberikan support kekuatan bagi kaum muslimin dan mengangkat eksistensi mereka.Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah.
    3. Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosisal, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin.
    4. Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.
    5. Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak fihak yang mengambil manfaat.
    Harta yang wajib dikeluarkan Zakatnya
    1. Emas dan perak, dengan syarat telah mencapai nishab (batas minimal suatu harta wajib dizakati) dan melewati haul (putaran satu tahun penuh). Nishab emas adalah 85 gram dan perak 595 gram, dan harta yang dikeluarkan sebanyak dua setengan persen. Juga berlaku bagi mata uang yang telah mencapai nilai tersebut, demikian pula emas dan perak yang dipakai untuk perhiasan, meski dalam hal perhiasan ini ada sebagian ulama yang mewajibkan sekali saja seumur hidup bukan tiap tahun, di antaranya pendapat Anas bin Malik Radiyallahu ‘anhu (Al Muhalla 6/78 dan Sunan Kubra 4/138).
    2. Harta perniagaan/perdagangan, zakat yang dikeluarkan sebanyak dua setengah persen dengan hitungan jumlah nilai barang dagangan (harga asli/net) digabung dengan keuntungan bersih, dan jika memiliki hutang maka dipotong hutang terlebih dahulu. Termasuk ketegori perdagangan adalah jual-beli mobil, rumah (properti), textil dan binatang ternak. Akan tetapi mobil, rumah atau pakaian yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari tidak ada kewajiban mengeluarkan zakatnya. Pembayaran zakat perdagangan dilakukan setelah mencapai nishab dan melalui haul.
    3. Hasil Tanaman berupa biji-bijian maupun buah-buahan, dibayarkan ketika panen dengan nishab kurang lebih 670 kg. Zakat yang dikeluarkan sebanyak sepuluh persen jika yang menyiraminya air hujan, dan jika meng-gunakan alat atau dengan memindah air maka cukup lima persen.
    4. Peternakan, Untuk kambing ketentuan zakatnya adalah sebagai berikut: Antara 40 sampai 120 ekor zakatnya satu ekor kambing. Antara 121 sampai 200 ekor zakatnya dua ekor kambing. 201 zakatnya 3 ekor kambing, kemudian setiap 100 kambing selanjutnya zakatnya satu ekor. Sedangkan nishab sapi adalah sebanyak 30 ekor, dan ketentuannya dapat dirujuk dalam buku-buku yang membahas masalah zakat secara khusus. Demikian juga harta-harta lain yang secara globalnya telah mencapai batas ketentuan diwajibkannya zakat.
    Golongan yang berhak menerima zakat
    1. Fuqara (fakir), yaitu orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya, penghasilannya hanya bisa menutupi separo kebutuhannya atau bahkan tidak sampai. Dalam arti mereka hidup jauh di bawah garis standar.
    2. Masakin (miskin), yaitu orang yang penghasilannya sedikit dibawah garis standar, ia hanya kekurangan sedikit dalam hal pemenuhan kebutuhan. Syaikh Al-Utsaimin berpendapat bahwa seseorang yang tidak memiliki harta benda namun di sisi lain ia punya penghasilan baik itu berupa upah, gaji atau kesibukan lain yang memberi pemasukan mencukupi maka ia tidak berhak menerima zakat.
    3. Amil Zakat, Mereka adalah petugas yang ditunjuk Hakim ‘Am dalam daulah (negara) untuk menarik zakat dari para aghniya’ (orang yang wajib berzakat) dan sekaligus mendistribusikannya kepada para mustahiq (yang berhak menerima zakat), juga bertanggung jawab menjaga harta zakat tersebut.
    4. Muallaf, mereka adalah orang-orang yang masih lemah imannya, terutama sekali bagi yang memiliki kedudukan penting seperti pemimpin suatu kaum/suku.
    5. Riqab (budak), termasuk dalam hal ini adalah membelinya lalu memerdekakannya, membantu hamba sahaya yang berusaha menebus dirinya karena ingin merdeka, dan melepaskan kaum muslimin yang menjadi tawanan/sandera.
    6. Gharim, yaitu orang yang terlilit hutang dan tidak memiliki kemampuan untuk membayarnya. Mereka diberi bagian dari zakat untuk membantu melunasi hutang tersebut entah itu banyak atau sedikit.
    7. Fi Sabilillah, yakni mereka yang berjuang di jalan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, para mujahidin diberi bagian zakat sesuai kebutuhan mereka dan dari zakat ini dapat dibelikan alat-alat yang dibutuhkan untuk berjihad. Termasuk fi sabilillah adalah para penuntut ilmu syar’i.
    8. Ibnu Sabil, yakni musafir yang kehabisan bekal di tengah perjalanan. Ia diberi zakat sebanyak keperluannya untuk sampai kembali ke negerinya.
    Mereka inilah para penerima zakat berdasarkan ketetapan Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam kitabNya. Perhatian untuk para pengelola zakat bahwa harta zakat tidak dapat disalurkan kepada selain 8 golongan yang tersebut di atas dengan alasan apapun. Baik itu berupa pembangunan masjid, renovasi jalan dan lain sebagainya, karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan pembagian ini dengan bentuk hashr (terbatas) yakni dengan kata innama (hanya). Sebagaimana disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 60.
    Dari sini jelas sekali bahwa Islam tidak menyia-nyiakan harta dan segala peluang yang dapat membawa maslahat umat sehingga tidak tersisa dalam setiap jiwa rasa tamak dan bakhil yang menguasai hawa nafsu. Bahkan mengarahkannya untuk kepentingan yang lebih besar sebagai salah satu potensi untuk perbaikan kondisi umat.
    (Sumber Rujukan: Fushul fi Ash-Shiyam wa At-Tarawih wa Az-Zakah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin) 



    Diedit dan dicopy- Paste kembali oleh : Abu Muhammad Khafi Wa Qudsiy As- Sapati

    Apakah Anda setuju dengan Blog ini?

    Nang Umpatan di Sini